Banjarmasin,
BARITO
Puluhan aktivis yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Pemulihan Hak Rakyat Kalimantan Selatan, Kamis (12/1), menggelar demo dan orasi di depan gedung DPRD Kalsel, Mereka menuntut dilakukannya reformasi agraria.
Aksi yang dimotori Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel bersama Badan Eksekutif Mahasiswa, pecinta alam, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalsel itu diawali longmach dari kampus Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Kayu Tangi, Banjarmasin. Massa yang membawa spanduk itu sempat singgah di Mapolda Kalsel Jalan S Parman untuk berorasi, dan kemudian melanjutkan aksi ke DPRD Kalsel.
Puluhan aktivis yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Pemulihan Hak Rakyat Kalimantan Selatan, Kamis (12/1), menggelar demo dan orasi di depan gedung DPRD Kalsel, Mereka menuntut dilakukannya reformasi agraria.
Aksi yang dimotori Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel bersama Badan Eksekutif Mahasiswa, pecinta alam, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalsel itu diawali longmach dari kampus Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Kayu Tangi, Banjarmasin. Massa yang membawa spanduk itu sempat singgah di Mapolda Kalsel Jalan S Parman untuk berorasi, dan kemudian melanjutkan aksi ke DPRD Kalsel.
Mereka menuntut dihentikannya segala bentuk perampasan
tanah milik rakyat yang berkedok investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Para
aktivis itu mendesak pula pelaksanaan reformasi agraria sejati sesuai amanat Konstitusi
1945 dan UUPA 1960.
Mereka mendesak DPR RI membentuk panitia khusus
penyelesaian konflik agraria. DPR RI juga didesak segera menggunakan hak
interpelasinya, meminta pertanggungjawaban Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) atas terjadinya pelanggaran HAM berat di sektor agraria dan sumber daya
alam (SDA).
Dalam orasinya, mereka juga menuntut pihak kepolisian dan TNI untuk menarik dan mengevaluasi aparatnya di lokasi konflik SDA. Kapolda Kalsel diminta menindak oknum polisi yang terlibat bisnis di sektor SDA.
Dalam orasinya, mereka juga menuntut pihak kepolisian dan TNI untuk menarik dan mengevaluasi aparatnya di lokasi konflik SDA. Kapolda Kalsel diminta menindak oknum polisi yang terlibat bisnis di sektor SDA.
Mereka mendesak pula gubernur Kalsel dan seluruh
pemerintah di Kalsel menghentikan ekspansi industri perkebunan besar kelapa sawit.
DPRD Kalsel pun diminta proaktif melindungi tanah rakyat dari perampasan.
Selain itu, alam orasinya, para pendemo meminta penegakan
hukum terhadap pelanggar Perda Nomor 3 Tahun 2008, pengakuan hak masyarakat
adat. Kemudian menolak rencana PT Adaro meningkatkan kapasitas produksi batu
bara menjadi 80 juta ton pertahun.
Arif Ramadhan, salah seorang pelaku aksi yang menyampaikan tuntutan tersebut, mengingatkan bahwa sengketa agraria saat ini terjadi karena izin eksploitasi yang penuh rekayasa dan masih terjadinya perampasan tanah yang menjadi hak rakyat.
Persoalan agraria ini, menurutnya menjadi pemicu konflik. Misalnya, kasus di Mesuji Riau, Timika Sulawesi Tengah, Sorikmas Sumatera Utara, Senyarang Papua, dan kasus Sape di Bima Nusa Tenggara Barat.
Untuk Kalsel sendiri, ungkapnya, catatan konflik sosial dari 2008 hingga 2011 sudah mencapai 28 kasus.
"Saya minta pemerintah mencabut izin lahan yang rentan menimbulkan konflik dengan warga," tegas Mahasiswa Pecinta Alam Justitia Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin itu.
Wakil Ketua DPRD Kalsel, Riswandi, menyambut positif aksi dan tuntutan para aktivis itu. "Daerah rentan konflik di Kalsel akan kita terus cermati," katanya, didampingi Wakil Ketua DPRD Kalsel, Faturrahman.
Terkait persoalan izin lahan pertambangan, Riswandi mengatakan, hal itu itu merupakan kewenangan kabupaten masing-masing.
"DPRD Kalsel, sebagai lembaga pengawas di daerah, akan tetap men-support, termasuk akan terus mengawal penegakan perda jalan khusus bagi angkutan tambang dan hasil perusahaan perkebunan," tandasnya.sop
Arif Ramadhan, salah seorang pelaku aksi yang menyampaikan tuntutan tersebut, mengingatkan bahwa sengketa agraria saat ini terjadi karena izin eksploitasi yang penuh rekayasa dan masih terjadinya perampasan tanah yang menjadi hak rakyat.
Persoalan agraria ini, menurutnya menjadi pemicu konflik. Misalnya, kasus di Mesuji Riau, Timika Sulawesi Tengah, Sorikmas Sumatera Utara, Senyarang Papua, dan kasus Sape di Bima Nusa Tenggara Barat.
Untuk Kalsel sendiri, ungkapnya, catatan konflik sosial dari 2008 hingga 2011 sudah mencapai 28 kasus.
"Saya minta pemerintah mencabut izin lahan yang rentan menimbulkan konflik dengan warga," tegas Mahasiswa Pecinta Alam Justitia Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin itu.
Wakil Ketua DPRD Kalsel, Riswandi, menyambut positif aksi dan tuntutan para aktivis itu. "Daerah rentan konflik di Kalsel akan kita terus cermati," katanya, didampingi Wakil Ketua DPRD Kalsel, Faturrahman.
Terkait persoalan izin lahan pertambangan, Riswandi mengatakan, hal itu itu merupakan kewenangan kabupaten masing-masing.
"DPRD Kalsel, sebagai lembaga pengawas di daerah, akan tetap men-support, termasuk akan terus mengawal penegakan perda jalan khusus bagi angkutan tambang dan hasil perusahaan perkebunan," tandasnya.sop
Tidak ada komentar:
Posting Komentar