Minggu, 16 November 2008

Tekan Biaya Perjalanan Dinas?

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Pemborosan penggunaan anggaran baik pusat maupun daerah, salah satunya
ditunding untuk biaya perjalanan dinas, meski untuk kegiatan itu tidak
dilarang Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan teranggarkan didalam
APBN dan APBD provinsi, kota maupun kabupaten.
Kegiatan tersebut jadi agenda eksekutif dan legislatif, berbalut manis
dengan berbagai istilah, ada sebutan dengan istilah kunjungan kerja
(kunker), studi banding, ataupun memenuhi undangan dari berbagai pihak,
seperti kegiatan halal bihalal ke luar daerah untuk bertemu dengan warga
diperantauan.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan, juga kabupaten dan
kota, diikuti pihak legislatif, tentu tak asing dengan kegiatan itu yang
dalam pelaksanaannya teranggarkan didalam APBD, dikenal dengan biaya
perjalanan dinas.
Karena teranggarkan didalam anggaran daerah, dan peruntukannya untuk
agenda tersebut, namun kalau kegiatan itu seperti jadi rutinitas,
seyogyanya ada pemangkasan, atau anggaran dari tahun ke tahun tidak mengalami
penambahan, dengan harapan pengeluaran uang milik rakyat itu ditekan,
untuk efektifitas dan penghematan agar dana yang teralokasi didalam
anggaran daerah lebih diprioritaskan kepada pelayanan publik.
Dan penghematan biaya perjalanan dinas ini sempat dihembuskan oleh
Gubernur Kalsel, Drs H Rudy Ariffin, untuk anggaran tersebut di tekan
semaksimal mungkin, jadi pertanyaan, apakah benar anggaran itu tidak boros,
atau ada penghematan?
Benar atau tidak, itu tergantung dari jadwal atau agenda eksekutif dan
legislatif!
Faktanya, untuk kegiatan ke luar daerah, ternyata masih jadi suatu
kegiatan rutin, bahkan dibulan Oktober 2008, sebagian kecil anggota Komisi
IV DPRD Provinsi Kalsel berkunjung ke Thailand bersama mitra kerjanya,
Dinas Kesehatan (Dinkes).
Eksekutif juga tak ketinggalan, setelah bertandang ke Mesir untuk
meresmikan asrama mahasiswa Kalsel, bersama beberapa orang wakil rakyat di
Rumah Banjar, rombongan gubernur dan pimpinan dewan, kini bertandang ke
Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, dalam rangka kegiatan halal bihalal.
Agenda perjalanan dinas itu ada kemungkinan di bulan Nopember dan
bulan-bulan selanjutnya semakin padat, diprediksi agendanya berupa studi
banding ataupun kunjungan kerja, dan lain sebagainya, namun ujung-ujungnya
pembiayaan melalui anggaran daerah yang sudah ada pos pembiayaan.
Rutinitas, sebutan itu mungkin layak untuk sebuah agenda yang harus
menyedot miliaran rupiah duit rakyat. Karena terbiasa dan dianggap hal
lumrah serta ada anggarannya, kita patut mempertanyakan tekat pemerintah
daerah menekan pemborosan anggaran itu, apakah tidak sebatas pemanis
dibalik ketidakpedulian walaupun kegiatan tersebut kerap jadi sorotan
publik?
Untuk menekan pemborosan biaya perjalanan dinas itu kita juga patut
mempertanyakan langkah-langkah kongkritnya, dan adakah upaya itu
terlaksana, atau baru sebatas akan dan akan, sementara agenda ke luar daerah
terus pula dilaksanakan, tak peduli saat ini dunia tengah dihadapkan pada
krisis ekonomi global.
Kalau tak peduli, ada kemungkinan tak malu, dan kalau sudah hilang rasa
malu, yang nampak hanya ke pura-puraan, bila itu terjadi masa bodoh,
tutup mata dan telinga, boros ya boros, yang berhemat lagi-lagi rakyat,
eksekutif dan legislatif sebagai penikmat lezatnya sebuah kue yang
disebut dengan anggaran.****

Ambisi Politisi Pusat

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Politisi-politisi pusat (DPP) kembali tampil di ranah perpolitikan lokal di banua ini. Dari wakil ketua hingga sekretaris jenderal maupun wakil sekretaris jenderal. Mereka tampil kembali di banua demi mengejar ambisi meraih kursi legislatif di Senayan.
Demi ambisi! Sebutan itu layak kita sematkan kepada para elit politik pusat ini. Politisi yang selama ini 'gentayangan' di Jakarta, juga telah menikmati berbagai kenikmatan, seperti jabatan di pemerintahan (menteri) atau pun jadi pengusaha.
Meski kiprah mereka kembali ke ranah lokal bukan hal baru, namun itu memperlihatkan ambisi dan ego sentris semata. Dan menandakan sikap tak mau berbagi dengan yunior mereka ditingkat lokal. Demi ambisi mengejar mimpi, maka terlupakan regenerasi ditubuh organisasi.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dengan jumlah peserta sebanyak 38 partai politik, semakin mengharubirukan perjalanan para politisi, baik tua maupun muda, untuk mengejar impian terpilih sebagai wakil rakyat terhormat, apakah ditingkat pusat, provinsi maupun kabupaten dan kota.
Kondisi itu mungkin dicermati para elit-elit politik ditingkat pusat, yang kemudian memutuskan kembali ikut meramaikan persaingan ditingkat lokal, dengan tujuan kembali merasakan bisa tampil di Senayan, yang mungkin di Pemilu 2004 silam, ada diantara politisi pusat itu yang gagal.
Kehadiran para elit politik pusat di ranah lokal, meski pigur-pigur itu ada yang dikenal luas secara nasional, namun bukan jaminan dikenal di banua, hal itu bisa disebabkan perbedaan usia, era dimana yang bersangkutan pernah begitu populer atau sudah terlalu lama tidak lagi berdomisili di banua ini, namun segala kemungkinan itu tidak menyurutkan langkah mereka, maju terus pantang mundur, walaupun harus ada yang mundur demi kepentingan politisi pusat, padahal yang mundur atau sengaja tidak dicalonkan itu sangat potensial mendulang suara demi partainya.
Itulah politik! Tidak kekal, ada kalanya tidak harmonis, namun dilain waktu berbeda, karena adanya kepentingan. Dan kepentingan itu yang saat ini terasa, meski kepentingan yang kental menyeruak itu ke arah pribadi para elit-elit politisi pusat, dan imbasnya harus ada elit politik ditingkat lokal yang harus tergusur.
Politik ibarat permainan. Ada pemenang ada pula yang kalah. Dan ada yang harus tergerus dalam persaingan. Kalah dan menang, dua kata yang harus siap disandang mereka yang bergelut dalam dunia semu tersebut, tak pandang bulu, siapa pun ia, apa pun latar belakang kehidupannya.
Kepentingan diatas kepentingan, itulah yang sangat melekat bagi yang bergelut di politik, karena tujuan tersebut dipicu ambisi pribadi dalam diri manusia, seperti itulah gambaran dalam diri politisi, apakah tua ataupun muda. Dan selagi masih ada ambisi, kaum tua pun pantang surut langkah mundur demi mengejar impian. Demi impian itu kini politisi pusat turut berjuang di ranah lokal, meski gaung regenerasi begitu kencang dihembuskan dan menina bobokan kalangan kaum muda.****

Rabu, 27 Agustus 2008

Waspadai Ijazah Caleg

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Tahap awal mengejar mimpi dari calon anggota legislatif (caleg) yang mewakili partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, telah mereka tempuh dengan penyerahan berkas ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota.
Tahapan lanjutan kini telah bergulir, dengan proses berkas tersebut di KPU melalui verifikasi berbagai kelengkapan persyaratan, seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan ijazah maupun yang lainnya, termasuk catatan kesehatan dari rumah sakit milik pemerintah daerah.
Dari proses verifikasi berkas, dan bila telah dirampungkan oleh KPU dengan mengumumkan daftar caleg tetap, maka genderang mengejar mimpi bagi ratusan bahkan ribuan orang caleg mulai ditabur. Mereka berkejaran dan saling berlomba meraih simpati pemilih.
Namun, sebelum arena perebutan simpati ditabur dengan berbagai pesona dan harapan yang ditebar ke masyarakat, KPU sebagai lembaga paling kompeten, dituntut benar-benar selektif dan jeli dalam meneliti secara rinci berkas caleg, seperti ijazah.
Ijazah, atau dikenal sebagai tanda bukti bahwa seseorang pernah dan telah menyelesaikan pendidikan formal di suatu sekolah, baik itu negeri ataupun swasta, baik yang sederajat (SLTA) atau paket C bagi yang mengikuti lanjutan (tidak lulus), maupun yang menyandang sarjana (strata satu), tentunya harus dapat dibuktikan keabsahannya atau keasliannya. Jangan sampai aspal (asli tapi palsu).
Berkaca pada Pemilu 2004 silam, kasus dugaan ijazah palsu ramai jadi pemberitaan di media massa, baik cetak ataupun elektronik, selain kasus perjokian hasil pemeriksaan kesehatan. Namun, yang diduga menyandang kasus-kasus itu tetap melenggang kangkung dan duduk masih sebagai wakil rakyat terhormat.
Dengan pengalaman 5 tahun lalu, tentu kita tidak ingin itu kembali terulang di Pemilu 2009 mendatang. KPU harus tegas dan berani mencoret caleg yang ditemukan ijazahnya bermasalah dan tidak bisa membuktikan keabsahannya. Dan, partai politik pun harus bersikap tegas seperti itu, jangan melindungi apalagi bersikukuh meloloskan calegnya yang bermasalah.
Namun, kita berharap tidak hanya KPU dan partai politik yang harus bersikap seperti itu, tapi caleg juga harus jujur dan bersikap legowo memilih mundur kalau memang ijazah yang dikantongi ditengarai ada ketidakberesan. Kesadaran caleg dan jiwa yang besar seyogyanya diperlihatkan, tidak hanya mengejar impian dan memenuhi ambisi, tapi menggadaikan bahkan menjual kehormatan dan harga diri dengan kebohongan publik.
Jika di awal sudah melakukan kebohongan publik, maka dikhawatirkan kalau nanti jadi caleg terpilih dan menyandang status wakil rakyat terhormat, yang ada malah penistaan terhadap proses demokrasi dan hukum. Siapa yang dirugikan? Rakyatlah yang kembali jadi korban.
Waspada-waspadalah. KPU jangan lengah. Masyarakat jangan pasif dan partai politik jangan jadi induk semang. Enyahkan caleg tidak jujur dan bermasalah. Semoga pesta demokrasi 5 tahunan ini sesuah dengan harapan membawa perubahan, demi bangsa dan negara dan rakyat tercinta. Amin.****

Senin, 11 Agustus 2008

HSU Bakal Bangun Bengkel Seni

Amuntai, BARITO
Satu lagi upaya pemkab HSU dalam memajukan bidang seni dan budaya didaerahnya yaitu dengan membangun workshop (bengkel seni) yang diperuntukan bagi para seniman yang ada di kota Bertakwa.
Bengkel seni ini nantinya bukan hanya menjadi wadah memajang atau memamerkan hasil karya lukisan saja tetapi juga sebagai tempat pertemuan para seniman untuk berdiskusi maupun mengadakan seminar.
Meski bengkel ini difasiltasi pemerintah namun keberadaannya tetap harus mendapat dukungan bukan hanya dari pemerintah tetapi juga dari pihak swasta dan instansi lainnya sehingga kegiatan berkesenian bisa lebih meningkat lagi, ujar Bupati HSU, HM.Aunul Hadi saat membuka Pameran Lukisan Kolaborasi Perupa Yogyakarta,Banjarmasin dan Hulu Sungai Utara, serta Pestival Mewarna dan Melukis Kaligrafi, Senin (11/8).
Pameran ini merupakan suatu jawaban atas kedahagaan masyarakat akan sebuah karya seni lukis, huntu itu dia minta kepada para perupa yang ada didaerah ini untuk terus meningkatkan dan mengembangkan bakat yang dimiliki sehingga muncul pelukis-pelukis handal yang bisa berprestasi hingga ketingkat nasional.
“Bengkel seni ini harus dapat terwujud pada masa pemerintahan saya,”ujarnya Lukisan Mutiara
Meski batal dibuka wakil gubenur yang juga Ketua DKD Kalsel, pameran dari kolaborasi pelukis tiga kota ini cukup semarak, karena juga dimeriahkan dengan penampilan drumband dari SDN Murung Sari 1 Amuntai, tari Radap Rahayu serta tari Itik sebagai sajian sepesial kepada para tamu undangan dan masyarakat pecinta seni yang menghadiri pameran tersebut.
Dalam lelang lukisan yang hasilnya 60 persen untuk disumbangkan bagi peningkatan seni budaya daerah dan 40 persen bagi pelukisnya, lukisan “Mutiara Berzikir” karya Ridha NHB laku terjual sebesar Rp.3 juta rupiah yang dibeli oleh Bupati HSU HM Aunul Hadi.
Sementara itu lukisan bupati dan isteri yang dilukis oleh Sulistyono dihargai bupati Rp4 juta. Selain pameran dan pestrival mewarnai serta melukis kaligrafi yang aka berlangsung 11 s/d 15 Agustus nanti juga diisi dengan dialog seni rupa. mwe

Masyarakat Adat Perjuangkan Tanah Ulayat

Barabai, BARITO
Komunitas masyarakat adat di Kalsel kini terus berusaha mendapat pengakuan dari pemerintah. Salah satunya masalah hak ulayat, dimana klaim adat atas sebuah kawasan hutan kadang berbenturan dengan status hutan yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti status hutan lindung.
Klaim adat atas status hutan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dianggap oleh masyarakat adat di daerah tidak mengakomodir kepentingan adat mereka. Sehingga masalah ini perlu dirumuskan agar pemerintah mengakui atas hak ulayat dari masyakat adat demi kelangsungan hidup mereka yang notebenenya tinggal di kawasan terpencil, seperti di Pegunungan Meratus.
Ditegaskan Ketua Persatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel, Jonson Masri, sudah banyak contoh hak adat ini kadang tidak dihiraukan oleh pemerintah terkait dalam pemanfaatan hutan. Seperti pembukaan lahan sawit, batubara, sarang walet.
Untuk itu mereka ingin merekomendasikan tentang masalah tanah ulayat ini. Pengakuan pemerintha atas tanah ulayat sangat penting sekali demi kelangsungan hidup mereka yang tinggal di kawasan hutan. Pemerintah dengan mudah jika izin kepada pihak investor untuk memanfaatkan hutan yang di dalamnya terdapat tanah ulayat.
Fakta-fakta demikian soelah-olah keberdaan tanah ulayat ini menjadi samar atau sengaja dibikin samar-samar alias abu-abu. Sehingga masyarakat adat yang masih terkebelakang ini kadang menjadi penonton saja ketika tanah ulayat mereka dieksploitasi. “Jadi kedepan kami akan rekomendasikan hasil kesepakatan masyarakat adat ini agar hak-hak adat mereka lebih diperhatikan,” ungkap Jonson kepada wartawan saat pembukaan Kongres Permada di Desa Atiran Kabupaten HST, Senin (11/8).
Selain itu tandas Jonson, yang menjabat sebagai Ketua Permada Kalsel periode 2003-2008 ini, masalah pendidikan juga masih dirasakan masih belum menyentuh kepada masyarakat terpencil seperti di kawasan meratus ini. Untuk itu dia berharap, ada tenaga pendidik yang memprioritaskan masyarakat adat ini untuk mengabdikan dirinya sebagai pendidik.
Tak kalah penting lagi, harapnya, masalah infra struktur juga harus menyentuh ke kawasan pedalaman seperti jalan dan jembatan. Sebab, keberadaan jalan ini sangat penting agar memudahkan transportasi masyarakat yang tinggal di pedalaman.
Sementara itu, Gubernur Kalsel, Drs H Rudy Ariffin MM, berkesampatan membuka langsung Kongres Permada Kalsel ini. Kendati harus naik gunung untuk mencapai lokasi kongres ini. “Saya meresa bangga dan bahagia bisa bertatap muka secara langsung dengan masyarakat adat ini. Dimana keberadaan masyarakat adat merupakan bagian dari rakyat yang harus mendapat perhatian dari pemerintah,” tegasnya.
Selain itu dia juga berharap, dalam Kongres Permada ini bisa membuat program kerja yang realistis. “Buat program yang bisa dilaksanakan dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat adat,” harapnya. muh

Jumat, 08 Agustus 2008

Nomor Urut Jadi atau Sepatu

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Partai politik yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, kini sibuk berbenah dan mengatur strategi demi tujuan meraih perolehan suara yang signifikan, ada pula yang mentargetkan tampil sebagai parpol pemenang pemilu.
Untuk meraih target tersebut, selain mengatur strategi, parpol juga sibuk menginventarisir pengurus, kader dan pihak diluar partai untuk dijadikan caleg, ditingkat pusat (DPR RI) atau provinsi, kabupaten dan kota (DPRD), dengan mengacu pada undang-undang pemilu yang masih menggunakan nomor urut.
Inventarisir siapa yang akan tampil sebagai caleg, meski itu hak parpol, namun jangan diabaikan kepentingan masyarakat, yang ingin wakilnya nantinya benar-benar membawa aspirasi dan amanah rakyat, tidak hanya kepentingan partai, golongan dan pribadi caleg semata.
Hasil dari inventarisir dan penggodokan untuk menentukan caleg yang ditempatkan sesuai daerah pemilihan (dapil), berupa daftar caleg dan diserahkan kepada KPU untuk diverifikasi, akan jadi cerminan apakah caleg yang diusung oleh parpol, itu sudah sesuai dengan keinginan masyarakat selaku konstituen atau sebaliknya.
Dan hasil penggodokan itu, juga dinantikan oleh pengurus partai, kader dan simpatisan, namun dengan acuan masih menggunakan nomor urut, maka ada hal penting yang harus direspon oleh masing-masing parpol, ada yang senang, kecewa bahkan sulit menerima bila tidak berada dinomor urut jadi.
Istilah nomor urut jadi (satu atau dua) dan nomor sepatu (urutan yang terendah, jadi ungkapan yang lazim dikala perhelatan pesta akbar demokrasi 5 tahun sekali, ironisnya, kalau nomor urut itu bakal jadi pemicu di internal parpol, tentu ada dampak yang akan timbul dibalik upaya parpol meraih target yang dicanangkan.
Nomor urut bagi caleg dapat diimplementasikan langkah strategis ke arah tujuan menggapai impian jadi wakil rakyat, yang jadi pertanyaan kalau nomor urut berada dilevel menengah, atau malah peringkat bawah (nomor sepatu). Apakah peluang untuk meraih tujuan itu dapat mereka realisasikan? atau sebaliknya, asa tersita, harapan tinggal harapan dan impian buyar.
Sistem pemilu, ini yang jadi landasan hingga di Pemilu 2009 mendatang masih tetap berlaku nomor urut, meski pun undang-undang mensyaratkan bila ada caleg mampu memenuhi 30 persen peroleh suara dari bilangan pembagi, otomatis tampil sebagai wakil rakyat, namun persyaratan itu tidak semua caleg nantinya bakal bisa meraih, ini yang akan menimbulkan keresahan dikalangan para caleg bila tak mampu meraih 30 persen suara, sebab, suara yang mereka raih, khususnya dinomor urut menengah hingga bawah,
maka akan tersedot ke nomor urut paling atas (satu atau dua).
Hasil Pemilu 2004 silam jelas menggambarkan kondisi seperti itu dan mau tidak mau harus diterima para caleg yang kebetulan tidak ditempatkan atau menempati nomor urut jadi, seandainya Pemilu 2009 mendatang hanya mensyaratkan suara yang diperoleh caleg sebanyak-banyaknya, tanpa embel-embel persentase, tentu ada sisi menarik, bahwa caleg yang terpilih jadi wakil rakyat benar-benar di pilih berdasarkan suara terbanyak dan
dikehendaki oleh masyarakat selaku konstituen di dapil masing-masing.
Karena sistem dan perundang-undangan memutuskan hal sebaliknya dan parpol menerima, yang bisa diharapkan seyogyanya penempatan caleg dinomor urut jadi bukan sebatas kedekatan, segolongan, atau jadi kesayangan, dan bukan pula menempatkan caleg di nomor urut sepatu hanya sebagai pelengkap.
Untuk caleg mewakili kaum hawa, tidak sebatas penghias jambangan bunga, undang-undang mensyaratkan kouta perempuan 30 persen itu harus direalisasikan parpol, upaya mewujudkan itu, maka tempatkan caleg perempuan dinomor urut jadi (satu atau dua), bila tidak, itu jadi pertanda parpol hanya mementingkan kouta laki-laki, begitu juga bagi generasi muda, tempatkan mereka dengan kemampuan dan dedikasi serta militansi terhadap parpol dinomor urut jadi, agar parpol dimata masyarakat pemilih semakin
mendapat kepercayaan, dukungan dan simpati yang besar.
'Kaum muda jangan hanya menunggu dan menunggu, kapan giliran mereka tampil sebagai penerus' sindiran sekaligus sentilan bernada miror ini mulai menyeruak, dan ini seyogyanya jadi perhatian parpol demi meraih target membawa perubahan.***

Maluka Baulin Pilihan Tepat

Banjarmasin, BARITO
Alternatif pengganti Bandar Udara Syamsuddin Noor, di Desa Maluka Baulin, Kecamatan Kurau, Kabupaten Tanah Laut, nampaknya bakal terealisasi, karena Gubernur Kalimantan Selatan, Drs Rudy Ariffin, dan Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalsel, H Bachruddin Syarkawi, menilai itu satu hal yang bagus, dan layak untuk pengembangan area, dan pilihan yang tepat.
Menurut Bachruddin, wacana pengganti Bandar Udara Syamsuddin Noor, itu sudah pernah dibahas, dan alternatif dengan memilih bekas lapangan terbang di massa pendudukan Jepang di Desa Maluka Baulin, itu sebuah kesepakatan yang sudah disepakati.
“Ini suatu pilihan yang tepat, karena Syamsuddin Noor untuk 5 tahun kedepan, itu tidak layak, karena padat pemukiman penduduk, dan sulit dikembangkan,” ujar politisi ulung Rumah Banjar ini.
Karena dinilainya sudah tepat, maka tahap selanjutnya akan ada pembicaraan di DPRD provinsi maupun kabupaten hingga ke pusat dan Departemen Perhubungan, setelah itu tinggal merealisasikan pembangunannya, dengan dana sharing, kabupaten, provinsi dan pusat, lanjut Bachruddin.
Secara geografis, lokasi di Maluka Baulin memang mendukung, karena terhampar diatas lahan seluas 996 hektar, dengan panjang landasan pacu sekitar 1086 meter, dan hanya berjarak kurang lebih 3 km dari arah laut, ini yang membuat dirinya optimis kalau itu bisa jadi pengganti bandara yang ada.
“Saya optimis, karena sudah saatnya Pemprov Kalsel mencari alternatif, karena ini penting untuk keselamatan penerbangan,” tegas Ketua DPD PDI-P Kalsel ini.
Keyakinan itu, menurutnya, ada dua alasan penting, pertama, letaknya sangat stratgis dan jauh dari pemukiman warga dan kedua, kebutuhan tingkat penerbangan di Kalsel juga akan semakin tinggi, seiring kemajuan pembangunan, dan harus pula ditunjang peningkatan infrastruktur jalan.
“Kita tidak menghendaki insiden di Medan terulang, karena padatnya pemukiman warga yang sangat membahayakan jalur penerbangan,” imbuhnya.
Senada, Gubernur Kalsel, Drs H Rudy Ariffin menyatakan wacana itu satu hal yang bagus dalam rangka untuk pengembangan area, dan itu sejalan dengan konsep Banjarmasin Greater, untuk pengembangan
“Saya kira satu hal yang bagus untuk pengembangan area,” ujar gubernur.
Menurut gubernur, dengan adanya wacana itu, sejalan pula dengan konsep pengembangan Banjarmasin, yang didukung kabupaten lainnya, yakni Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Barito Kuala serta Tanah Laut, dan program tersebut mendapat bantuan pemerintah pusat.
“Kalau sekarang ada wacana itu, ya silahkan, kita akan susun dalam konsep itu, jangan ada konsep macam-macam, seperti dulu konsep baksanaga, tapi sekarang kita implementasikan dengan pakar yang dibiayai oleh negara donor, dan tahun ini akan disusun, dibantu dari Departemen PU,” demikian gubernur.sop

Kamis, 07 Agustus 2008

Tidak Ada Tahapan Memindah Ibukota

Banjarmasin, BARITO
Meski telah mendapat persetujuan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan untuk realisasi pembangunan pusat kawasan perkantoran Pemprov Kalsel di Kota Banjarbaru, yang didanai melalui anggaran multy years, namun ditegaskan Gubernur Kalsel tidak ada tahapan lanjutan untuk mewujudkan pemindahan ibukota provinsi.
Pernyataan orang nomor satu di Bumi Lambung Mangkurat ini, bertolak belakang dengan penjelasan Ketua Komisi I, Ibnu Sina, SPi kepada LSM-OKP, yang berdialog diruang Komisi II, bahwa persetujuan multy years itu merupakan tahap awal merealisasikan pemindahan ibukota.
Gubernur Kalsel, Drs H Rudy Ariffin menegaskan tidak ada tahapan selanjutnya yang mengarah untuk pemindahan ibukota, ia sampaikan kepada wartawan usai rapat paripurna dewan, Kamis (7/8) kemarin.
“Saya kira tidak ada upaya ke arah sana,” tegas gubernur.
Yang ada adalah pemindahan pusat kawasan perkantoran, lanjutnya, dan ini sesuai dengan arah kebijakan pembangunan selama 5 tahun, yang terangkum didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
“RPJM adalah peraturan daerah, yang mendasari arah kebijakan pembangunan selama 5 tahun kedepan, kalau kita lepas dari itu, saya berarti menyimpang dari itu, sehingga saya harus konsekwen didalam kesepakatan RPJM,” tegas Rudy.
Disinggung ada perubahan antara visi-misi dan RPJM, yang semula untuk pemindahan ibukota provinsi, menurut gubernur, harus dipahami, kalau visi-misi dengan RPJM ada perbedaan dimaksud, kalau visi-misi, itu perorangan, namun setelah kita bahas, itu menjadi RPJM, dan bentuknya sudah menjadi perda.
“Artinya, visi-misi itu dijabarkan dan dibahas, dengan mendapatkan masukan dari berbagai pihak dan juga dari para anggota DPRD, kemudian didalam RPJM dicantumkanlah sebagai pemindahan pusat kawasan perkantoran,” jelasnya.
Mengenai polemik terhadap rencana tersebut, disikapi Rudy dengan bijak, bahwa tidak ada persoalan kalau pusat perkantoran berada di Kota Banjarbaru, sementara ibukota provinsi tetap di Kota Banjarmasin.
Rudy mencontohkan, seperti di Kualalumpur (Malaysia), meski pusat pemerintahannya ada di Putrajaya, yang bagian Selangor, dan sampai sekarang tetap seperti itu, artinya tidak ada masalah atau jadi persoalan.
Mengenai perubahan rencana tersebut, gubernur menegaskan kalau visi-misi itu pada waktu kita proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sedangkan kesepakatan bersama itu tertuang didalam RPJM.
“RPJM itu menjadi perda yang sifatnya mengikat dalam peraturan hukum, dan saya kira tidak ada masalah yang krusial, tinggal lagi bagaimana nanti Badan Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) menilai hasil APBD kita dengan catatan-catatan semuanya insya allah dibawa ke Jakarta,” imbuhnya.
Sedangkan untuk asset yang bakal ditukar guling, menurut gubernur, pihaknya belum bisa memutuskan, karena butuh waktu yang panjang, dan saat tengah dilakukan pendataan, baru nanti akan disampaikan dan dibahas.
“Kita sekarang sedang mencatat dan nanti akan kita sampaikan, tidak mungkin sekarang kita jual mau ditaruh dimana para pegawainya, dan hasil penjualan itu akan masuk kas daerah, jadi semua soal waktu bahkan bisa melampaui 2010,” demikian gubernur.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalsel, H Bachruddin Syarkawi kepada LSM-OKP yang menggelar dialog, menegaskan, bahwa persetujuan dewan tentang pemindahan pusat kawasan perkantoran, karena harus merespon apa yang jadi visi-misi 2R (Rudy Ariffin-Rosehan), meskipun awalnya untuk pemindahan ibukota provinsi, meskipun konsekwensi pemindahan itu memang menggunakan biaya yang besar.
Senada, Ketua Komisi I, Ibnu Sina, SPi, bahwa untuk pemindahan perkantoran itu tetap menggunakan dana APBD, meski polanya dengan tukar guling asset dan pembiayaan melalui multy years.
Namun, politisi muda PKS Kalsel ini juga mengungkapkan, bahwa dengan persetujuan pemindahan perkantoran itu merupakan tahapan dalam rencana Pemprov Kalsel untuk memindah ibukota provinsi.sop