Jumat, 08 Agustus 2008

Nomor Urut Jadi atau Sepatu

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Partai politik yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, kini sibuk berbenah dan mengatur strategi demi tujuan meraih perolehan suara yang signifikan, ada pula yang mentargetkan tampil sebagai parpol pemenang pemilu.
Untuk meraih target tersebut, selain mengatur strategi, parpol juga sibuk menginventarisir pengurus, kader dan pihak diluar partai untuk dijadikan caleg, ditingkat pusat (DPR RI) atau provinsi, kabupaten dan kota (DPRD), dengan mengacu pada undang-undang pemilu yang masih menggunakan nomor urut.
Inventarisir siapa yang akan tampil sebagai caleg, meski itu hak parpol, namun jangan diabaikan kepentingan masyarakat, yang ingin wakilnya nantinya benar-benar membawa aspirasi dan amanah rakyat, tidak hanya kepentingan partai, golongan dan pribadi caleg semata.
Hasil dari inventarisir dan penggodokan untuk menentukan caleg yang ditempatkan sesuai daerah pemilihan (dapil), berupa daftar caleg dan diserahkan kepada KPU untuk diverifikasi, akan jadi cerminan apakah caleg yang diusung oleh parpol, itu sudah sesuai dengan keinginan masyarakat selaku konstituen atau sebaliknya.
Dan hasil penggodokan itu, juga dinantikan oleh pengurus partai, kader dan simpatisan, namun dengan acuan masih menggunakan nomor urut, maka ada hal penting yang harus direspon oleh masing-masing parpol, ada yang senang, kecewa bahkan sulit menerima bila tidak berada dinomor urut jadi.
Istilah nomor urut jadi (satu atau dua) dan nomor sepatu (urutan yang terendah, jadi ungkapan yang lazim dikala perhelatan pesta akbar demokrasi 5 tahun sekali, ironisnya, kalau nomor urut itu bakal jadi pemicu di internal parpol, tentu ada dampak yang akan timbul dibalik upaya parpol meraih target yang dicanangkan.
Nomor urut bagi caleg dapat diimplementasikan langkah strategis ke arah tujuan menggapai impian jadi wakil rakyat, yang jadi pertanyaan kalau nomor urut berada dilevel menengah, atau malah peringkat bawah (nomor sepatu). Apakah peluang untuk meraih tujuan itu dapat mereka realisasikan? atau sebaliknya, asa tersita, harapan tinggal harapan dan impian buyar.
Sistem pemilu, ini yang jadi landasan hingga di Pemilu 2009 mendatang masih tetap berlaku nomor urut, meski pun undang-undang mensyaratkan bila ada caleg mampu memenuhi 30 persen peroleh suara dari bilangan pembagi, otomatis tampil sebagai wakil rakyat, namun persyaratan itu tidak semua caleg nantinya bakal bisa meraih, ini yang akan menimbulkan keresahan dikalangan para caleg bila tak mampu meraih 30 persen suara, sebab, suara yang mereka raih, khususnya dinomor urut menengah hingga bawah,
maka akan tersedot ke nomor urut paling atas (satu atau dua).
Hasil Pemilu 2004 silam jelas menggambarkan kondisi seperti itu dan mau tidak mau harus diterima para caleg yang kebetulan tidak ditempatkan atau menempati nomor urut jadi, seandainya Pemilu 2009 mendatang hanya mensyaratkan suara yang diperoleh caleg sebanyak-banyaknya, tanpa embel-embel persentase, tentu ada sisi menarik, bahwa caleg yang terpilih jadi wakil rakyat benar-benar di pilih berdasarkan suara terbanyak dan
dikehendaki oleh masyarakat selaku konstituen di dapil masing-masing.
Karena sistem dan perundang-undangan memutuskan hal sebaliknya dan parpol menerima, yang bisa diharapkan seyogyanya penempatan caleg dinomor urut jadi bukan sebatas kedekatan, segolongan, atau jadi kesayangan, dan bukan pula menempatkan caleg di nomor urut sepatu hanya sebagai pelengkap.
Untuk caleg mewakili kaum hawa, tidak sebatas penghias jambangan bunga, undang-undang mensyaratkan kouta perempuan 30 persen itu harus direalisasikan parpol, upaya mewujudkan itu, maka tempatkan caleg perempuan dinomor urut jadi (satu atau dua), bila tidak, itu jadi pertanda parpol hanya mementingkan kouta laki-laki, begitu juga bagi generasi muda, tempatkan mereka dengan kemampuan dan dedikasi serta militansi terhadap parpol dinomor urut jadi, agar parpol dimata masyarakat pemilih semakin
mendapat kepercayaan, dukungan dan simpati yang besar.
'Kaum muda jangan hanya menunggu dan menunggu, kapan giliran mereka tampil sebagai penerus' sindiran sekaligus sentilan bernada miror ini mulai menyeruak, dan ini seyogyanya jadi perhatian parpol demi meraih target membawa perubahan.***

Tidak ada komentar: