Minggu, 16 November 2008

Tekan Biaya Perjalanan Dinas?

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Pemborosan penggunaan anggaran baik pusat maupun daerah, salah satunya
ditunding untuk biaya perjalanan dinas, meski untuk kegiatan itu tidak
dilarang Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan teranggarkan didalam
APBN dan APBD provinsi, kota maupun kabupaten.
Kegiatan tersebut jadi agenda eksekutif dan legislatif, berbalut manis
dengan berbagai istilah, ada sebutan dengan istilah kunjungan kerja
(kunker), studi banding, ataupun memenuhi undangan dari berbagai pihak,
seperti kegiatan halal bihalal ke luar daerah untuk bertemu dengan warga
diperantauan.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan, juga kabupaten dan
kota, diikuti pihak legislatif, tentu tak asing dengan kegiatan itu yang
dalam pelaksanaannya teranggarkan didalam APBD, dikenal dengan biaya
perjalanan dinas.
Karena teranggarkan didalam anggaran daerah, dan peruntukannya untuk
agenda tersebut, namun kalau kegiatan itu seperti jadi rutinitas,
seyogyanya ada pemangkasan, atau anggaran dari tahun ke tahun tidak mengalami
penambahan, dengan harapan pengeluaran uang milik rakyat itu ditekan,
untuk efektifitas dan penghematan agar dana yang teralokasi didalam
anggaran daerah lebih diprioritaskan kepada pelayanan publik.
Dan penghematan biaya perjalanan dinas ini sempat dihembuskan oleh
Gubernur Kalsel, Drs H Rudy Ariffin, untuk anggaran tersebut di tekan
semaksimal mungkin, jadi pertanyaan, apakah benar anggaran itu tidak boros,
atau ada penghematan?
Benar atau tidak, itu tergantung dari jadwal atau agenda eksekutif dan
legislatif!
Faktanya, untuk kegiatan ke luar daerah, ternyata masih jadi suatu
kegiatan rutin, bahkan dibulan Oktober 2008, sebagian kecil anggota Komisi
IV DPRD Provinsi Kalsel berkunjung ke Thailand bersama mitra kerjanya,
Dinas Kesehatan (Dinkes).
Eksekutif juga tak ketinggalan, setelah bertandang ke Mesir untuk
meresmikan asrama mahasiswa Kalsel, bersama beberapa orang wakil rakyat di
Rumah Banjar, rombongan gubernur dan pimpinan dewan, kini bertandang ke
Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, dalam rangka kegiatan halal bihalal.
Agenda perjalanan dinas itu ada kemungkinan di bulan Nopember dan
bulan-bulan selanjutnya semakin padat, diprediksi agendanya berupa studi
banding ataupun kunjungan kerja, dan lain sebagainya, namun ujung-ujungnya
pembiayaan melalui anggaran daerah yang sudah ada pos pembiayaan.
Rutinitas, sebutan itu mungkin layak untuk sebuah agenda yang harus
menyedot miliaran rupiah duit rakyat. Karena terbiasa dan dianggap hal
lumrah serta ada anggarannya, kita patut mempertanyakan tekat pemerintah
daerah menekan pemborosan anggaran itu, apakah tidak sebatas pemanis
dibalik ketidakpedulian walaupun kegiatan tersebut kerap jadi sorotan
publik?
Untuk menekan pemborosan biaya perjalanan dinas itu kita juga patut
mempertanyakan langkah-langkah kongkritnya, dan adakah upaya itu
terlaksana, atau baru sebatas akan dan akan, sementara agenda ke luar daerah
terus pula dilaksanakan, tak peduli saat ini dunia tengah dihadapkan pada
krisis ekonomi global.
Kalau tak peduli, ada kemungkinan tak malu, dan kalau sudah hilang rasa
malu, yang nampak hanya ke pura-puraan, bila itu terjadi masa bodoh,
tutup mata dan telinga, boros ya boros, yang berhemat lagi-lagi rakyat,
eksekutif dan legislatif sebagai penikmat lezatnya sebuah kue yang
disebut dengan anggaran.****

Ambisi Politisi Pusat

Oleh: Sophan Sopiandi, SE
Politisi-politisi pusat (DPP) kembali tampil di ranah perpolitikan lokal di banua ini. Dari wakil ketua hingga sekretaris jenderal maupun wakil sekretaris jenderal. Mereka tampil kembali di banua demi mengejar ambisi meraih kursi legislatif di Senayan.
Demi ambisi! Sebutan itu layak kita sematkan kepada para elit politik pusat ini. Politisi yang selama ini 'gentayangan' di Jakarta, juga telah menikmati berbagai kenikmatan, seperti jabatan di pemerintahan (menteri) atau pun jadi pengusaha.
Meski kiprah mereka kembali ke ranah lokal bukan hal baru, namun itu memperlihatkan ambisi dan ego sentris semata. Dan menandakan sikap tak mau berbagi dengan yunior mereka ditingkat lokal. Demi ambisi mengejar mimpi, maka terlupakan regenerasi ditubuh organisasi.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dengan jumlah peserta sebanyak 38 partai politik, semakin mengharubirukan perjalanan para politisi, baik tua maupun muda, untuk mengejar impian terpilih sebagai wakil rakyat terhormat, apakah ditingkat pusat, provinsi maupun kabupaten dan kota.
Kondisi itu mungkin dicermati para elit-elit politik ditingkat pusat, yang kemudian memutuskan kembali ikut meramaikan persaingan ditingkat lokal, dengan tujuan kembali merasakan bisa tampil di Senayan, yang mungkin di Pemilu 2004 silam, ada diantara politisi pusat itu yang gagal.
Kehadiran para elit politik pusat di ranah lokal, meski pigur-pigur itu ada yang dikenal luas secara nasional, namun bukan jaminan dikenal di banua, hal itu bisa disebabkan perbedaan usia, era dimana yang bersangkutan pernah begitu populer atau sudah terlalu lama tidak lagi berdomisili di banua ini, namun segala kemungkinan itu tidak menyurutkan langkah mereka, maju terus pantang mundur, walaupun harus ada yang mundur demi kepentingan politisi pusat, padahal yang mundur atau sengaja tidak dicalonkan itu sangat potensial mendulang suara demi partainya.
Itulah politik! Tidak kekal, ada kalanya tidak harmonis, namun dilain waktu berbeda, karena adanya kepentingan. Dan kepentingan itu yang saat ini terasa, meski kepentingan yang kental menyeruak itu ke arah pribadi para elit-elit politisi pusat, dan imbasnya harus ada elit politik ditingkat lokal yang harus tergusur.
Politik ibarat permainan. Ada pemenang ada pula yang kalah. Dan ada yang harus tergerus dalam persaingan. Kalah dan menang, dua kata yang harus siap disandang mereka yang bergelut dalam dunia semu tersebut, tak pandang bulu, siapa pun ia, apa pun latar belakang kehidupannya.
Kepentingan diatas kepentingan, itulah yang sangat melekat bagi yang bergelut di politik, karena tujuan tersebut dipicu ambisi pribadi dalam diri manusia, seperti itulah gambaran dalam diri politisi, apakah tua ataupun muda. Dan selagi masih ada ambisi, kaum tua pun pantang surut langkah mundur demi mengejar impian. Demi impian itu kini politisi pusat turut berjuang di ranah lokal, meski gaung regenerasi begitu kencang dihembuskan dan menina bobokan kalangan kaum muda.****